AJARAN IBU! (Memaknai Hari Kartini)
Untuk Yang Tercinta : Mama Bertha Anunu Abi dan Mama Helena Wea Labo
( Saat Membersihkan Kebun di Kupang)
Mama saya tidak pernah duduk di bangku sekolah, namun
ajarannya pada kami melebihi profesor kenanamaan. Ajaran hidupnya telah
menjadikan kami anak-anaknya menjadi pribadi yang mampu hidup dalam badai
modernisasi saaat ini.
Semangat juang mama di kampung semenjak kepergian ayah
tercinta, patut diancungi jempol. Kala itu, mama bertindak selalu ayah dan ibu.
Mama harus berjuang memenuhi kehidupan kami 10 bersaudara, disaat yang sama,
mama(Ena) harus bisa memberi kasih sayang sebagai seorang mama bagi kami semua.
142 tahun silam, di Jepara tepatnya 21 April 1879,
lahir Raden Adjeng Kartini, yang belakangan dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan Pribumi-Nusantara.
Kartini
adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada
pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi
pendidikan Barat kepada anak-anaknya.[1] Kakak
Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Di sini
antara lain Kartini belajar bahasa Belanda.
Namun, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa
dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar
sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang
berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang
banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik
pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
Mama saya, Bertha Anunu Abi, lahir dari pasangan Petrus Sako Abi
dan Theresia Seko Sasi, merupakan putri sulung (Anak pertama) dari 11
bersaudara. Saudara-saudaranya, adalah Lamber Fio Abi, Hilarius Abi, Yosep
Seko, Petrus Taseon Abi, Mikhael Kelo Abi, Veonika Abi, Nepat Abi, Ande Abi, En
Lalus dan Bal Abi.
Memang kakek saya Petrus Sako menikah dengan dua istri, mama
saya merupakan sulung dari Istri pertama. Karena meripakan anak sulung, maka
untuk urusan menjaga adik-adik dan membantu orang tuanya saat itu bukan hal
sulit.
Mungkin sudah terbiasa ngurus adik-adik, saat masih muda, maka ketika
ditinggal pergi oleh ayah tercinta meski dengan susah payah mama (Ena) mampu
memenuhi kebutuhan hidup kami anak-anaknya meski harus menjadi kuli tani.
Bayangkan saja, mama harus mengerjakan lading milik kami, pada saat yang
bersamaan harus mengerjakan lading milik orang – orang di desa dengan upah
jagung atau uang seadanya.
Mama memang seorang penyayang, saat saya kuliah, dalam 1 minggu,
mama terkadang dua kali menjenguk saya di asrama. Tidak ada bawaan berarti,
selain Ut, kue beberapa potong atau kacang-kacangan. Saya memang tidak terbiasa
urus dapur, maka mama biasanya membawa beras tumbuk dan sambal buatannya
sendiri.
Ada Perempuan hebat lainnya, dialah mama dari istri tercinta
Helena Wea Labo, putri pertama (anak pertama) dari 4 bersaudara, yaitu Helena
Wea Labo, Thomas Nuwa, Petronela Ledu, Yuliana Lua, dari pasangan : Bpk.Lado
dan Mama Ito Benga. Helena Wea Labo dari rahimnya lahir : Valentinus Lado,
Elpifanus Sue, Yanne Wona, Florianus Dhai dan Finsensius Piko Bagho. Helena Wea
Labo juga ditinggal pergi oleh suaminya, anak-anaknya belum ada yang berumah
tangga. Helena Wea Labo juga harus bertindak selaku ayah dan ibu demi
anak-anaknya.
Terima kasih Mama Bertha Anunu Abi dan Mama Helena Wea Labo
Bello, 21 April 2021 (hari Kartini)
Komentar
Posting Komentar